Ini Kisahku
Anak kecil itu polos. Dia belum faham akan kehidupan. Dia belum mengerti apa
itu arti hidup. Begitulah masa dimana aku hanya merasa bahagia dengan segala
permainan bersama kawan-kawan. Sebagai anak kecil yang suka bermain, aku
bukanlah seorang yang hanya suka didalam rumah. Permainan diluar rumah bagiku
lebih menyenangkan apalagi bersama ke-tiga kawanku. Saat kecil, aku memiliki
kawan yang kemana-mana selalu bersama. Entah itu pulang sekolah, pulang mengaji
bahkan saat libur-pun selalu bermain bersama. Seiring waktu melampaui, kami pun
terpisah. Masing-masing mulai memahami tujuan hidupnya.
Saat kecil aku adalah seorang yang ”nritip”, keras kepala dan selalu ingin menang. Namun semua itu berubah saat aku mulai menginjak remaja. Saat itu kira-kira aku masih duduk di bangku kelas 4. Aku baru memahami akan pentingnya belajar. Memang benar, dari kecil aku sulit mau belajar dari kesadaran diri. Aku mulai faham, karena ketika itu aku merasa persaingan antar teman mulai ketat.
Aku menempuh pendidikanku di sebuah Madrasah Ibtidaiyah di dekat rumahku. Aku merasa beruntung karena mulai angkatan kami anak perempuan diharuskan berkerudung. Memang, meski bernama Madrasah tetap saja angkatan diatasku dan diatasnya lagi belum ada yang berkerudung. Aku berada pada suasana kelas yang damai. Beranggotakan 13 anak yaitu 5 laki-laki dan 8 perempuan. Meskipun anggota kami sedikit tapi setidaknya anggota kami saat itu yang terbanyak.
Kelas 4, kelas 5, telah lewat begitu saja. Saatnya menginjak masa yang kritis. Persaingan yang menegangkan. Detik-detik perang menghadapi UASBN. Dibalik situasi tegang itu kami malah sangat bahagia. Kami semakin kompak dalam menghadapinya. Semangat ikut pelajaran tambahan di sekolah, belajar bersama saat pulang sekolah sampai senja mengintip. Tegang tapi sangat menyenangkan.
Mendapat hasil ujian yang lumayan dapat dikatakan bagus. Namun impianku bukan sampai saat itu. Berharap dapat melanjutkan pendidikan di sekolah yang ku dambakan. Sebagai anak remaja awal, aku belum faham betul tentang sekolah yang harus dituju. Yang ku mengerti hanyalah ketika aku sangat ingin bersekolah di MTs impianku. Itupun karena kedua kakakku dulunya sekolah disitu dan banyak dari kawan-kawanku melanjutkan disitu. Memang benar, sekolahannya sangat bagus dari segi manapun. Aku begitu berharap dapat meginjak sekolah itu.
Saat tes seleksi MTs itu berlangsung, aku bukannya tenang dalam mengerjakan. Karena aku sangat kelelahan setelah bersepeda sekian kilo sendirian untuk mencapai lokasinya. Sulit aku berkonsentrasi. Hingga ku tak menyadari waktu pun habis. Tiba-tiba bapak menghampiriku di depan pintu kelas yang ku pakai mengerjakan soal. Sebelumnya aku tidak mengetahui kalau bapak akan menyusulku. Lelah tapi bahagia. Meski begitu rasa khawatir teruslah membayangi. Mengerjakan soal belum dapat maksimal bagaimana dapat masuk barisan lolos seleksi. Memang kenyataannya. Aku belum ditakdirkan dapat menempuh pendidikan di Madrasah itu. Rasa kecewa, sedih, menyesal dan perasaaan sangat terpukul karena kenyataan itu. Mimpi yang sebelumnya sangat membuat aku semangat dalam mencapainya terasa lenyap seketika. Dua sampai tiga hari lamanya aku mengurung diri di kamar, hanya saja jika waktu sholat maka aku akan keluar kamar. Putus asa, rapuh dan tidak lagi punya harapan itulah yang ku alami saat itu. Pengalaman yang tak akan terlupakan entah sampai kapan.
Setelah beberapa hari aku baru dapat membuka diri. Mulai sadar akan hari baru telah menunggu. Entah itu baik atau kurang baik aku menjalani dengan aliran. Kakakku mendaftarkan aku dimana aku ikut saja. Karena traumanya diriku, pengalaman itu terasa ikut selalu kemanapun aku pergi.
Saat kecil aku adalah seorang yang ”nritip”, keras kepala dan selalu ingin menang. Namun semua itu berubah saat aku mulai menginjak remaja. Saat itu kira-kira aku masih duduk di bangku kelas 4. Aku baru memahami akan pentingnya belajar. Memang benar, dari kecil aku sulit mau belajar dari kesadaran diri. Aku mulai faham, karena ketika itu aku merasa persaingan antar teman mulai ketat.
Aku menempuh pendidikanku di sebuah Madrasah Ibtidaiyah di dekat rumahku. Aku merasa beruntung karena mulai angkatan kami anak perempuan diharuskan berkerudung. Memang, meski bernama Madrasah tetap saja angkatan diatasku dan diatasnya lagi belum ada yang berkerudung. Aku berada pada suasana kelas yang damai. Beranggotakan 13 anak yaitu 5 laki-laki dan 8 perempuan. Meskipun anggota kami sedikit tapi setidaknya anggota kami saat itu yang terbanyak.
Kelas 4, kelas 5, telah lewat begitu saja. Saatnya menginjak masa yang kritis. Persaingan yang menegangkan. Detik-detik perang menghadapi UASBN. Dibalik situasi tegang itu kami malah sangat bahagia. Kami semakin kompak dalam menghadapinya. Semangat ikut pelajaran tambahan di sekolah, belajar bersama saat pulang sekolah sampai senja mengintip. Tegang tapi sangat menyenangkan.
Mendapat hasil ujian yang lumayan dapat dikatakan bagus. Namun impianku bukan sampai saat itu. Berharap dapat melanjutkan pendidikan di sekolah yang ku dambakan. Sebagai anak remaja awal, aku belum faham betul tentang sekolah yang harus dituju. Yang ku mengerti hanyalah ketika aku sangat ingin bersekolah di MTs impianku. Itupun karena kedua kakakku dulunya sekolah disitu dan banyak dari kawan-kawanku melanjutkan disitu. Memang benar, sekolahannya sangat bagus dari segi manapun. Aku begitu berharap dapat meginjak sekolah itu.
Saat tes seleksi MTs itu berlangsung, aku bukannya tenang dalam mengerjakan. Karena aku sangat kelelahan setelah bersepeda sekian kilo sendirian untuk mencapai lokasinya. Sulit aku berkonsentrasi. Hingga ku tak menyadari waktu pun habis. Tiba-tiba bapak menghampiriku di depan pintu kelas yang ku pakai mengerjakan soal. Sebelumnya aku tidak mengetahui kalau bapak akan menyusulku. Lelah tapi bahagia. Meski begitu rasa khawatir teruslah membayangi. Mengerjakan soal belum dapat maksimal bagaimana dapat masuk barisan lolos seleksi. Memang kenyataannya. Aku belum ditakdirkan dapat menempuh pendidikan di Madrasah itu. Rasa kecewa, sedih, menyesal dan perasaaan sangat terpukul karena kenyataan itu. Mimpi yang sebelumnya sangat membuat aku semangat dalam mencapainya terasa lenyap seketika. Dua sampai tiga hari lamanya aku mengurung diri di kamar, hanya saja jika waktu sholat maka aku akan keluar kamar. Putus asa, rapuh dan tidak lagi punya harapan itulah yang ku alami saat itu. Pengalaman yang tak akan terlupakan entah sampai kapan.
Setelah beberapa hari aku baru dapat membuka diri. Mulai sadar akan hari baru telah menunggu. Entah itu baik atau kurang baik aku menjalani dengan aliran. Kakakku mendaftarkan aku dimana aku ikut saja. Karena traumanya diriku, pengalaman itu terasa ikut selalu kemanapun aku pergi.
Komentar
Posting Komentar